Jumat, 30 Maret 2012

The Best Inspiring Man in The World


Ayah, you’re my hero. Itulah kalimat yang tepat untuk ayahku.
Bukan hal yang aneh dan mengherankan ketika mendengar salah satu anggota keluarga menjadi pahlawan dalam hidup kita. Secara lahir dan bathin, seorang anak tidak bisa jauh apalagi lepas dari orang tuanya. Sejauh apapun jarak yang memisahkan antara anak dan orang tua, tidak akan melepas ikatan bathin diantara mereka. Karena kita adalah bagian dari mereka. Karena sejak kecil kita sudah bersama dengan mereka. Kebersamaan yang terjalin membuat hubungan antara orang tua dan anak semakin dekat. Meskipun terkadang dalam keseharian, kita kerap dimarahi oleh ayah atau ibu. Itu bukan tanpa sebab. Tidak mungkin seorang ayah memarahi anaknya hanya karena iseng belaka. Hampir semua anak yang ada didunia tak luput dari amarah sang ayah. Apalagi salah satu dari kita termasuk anak yang nakal. Susah dinasehati atau bahkan sering menentang perkataan ayah.
Begitu juga denganku. Waktu aku masih duduk disekolah dasarl, tak jarang ayah memarahiku karena aku malas minum susu, tidak suka dengan kuning telur, suka makan yang asem-asem, suka menghilangkan anting yang baru dibeli. Padahal aku anak perempuan yang seharusnya identik dengan perhiasan. Namun apa yang terjadi padaku. Ayah kapok membelikan anting lagi dan membiarkan telingaku kosong melompong tanpa perhiasan. Kenakalanku waktu aku kecil masih dalam batas sewajarnya. Ada satu cerita dari nenekku. Sewaktu aku masih kecil dan belum bisa berjalan, aku pernah ditinggal duduk sendiri diteras. Sedang ayah masuk ke dalam rumah untuk mengambil sesuatu. Tak seberapa lama ditinggal, nenekku menjerit karena melihat aku makan daun mangga hingga habis. Tak ayal lagi aku keselek dan mau muntah. Ternyata daun yang kumakan itu nyangkut ditenggorakan. Melihat hal itu ayahku berlari dan memasukkan tangannya kedalam mulutku untuk mengambil daun itu. Alhamdulillah usaha ayah berhasil dan aku selamat. Jika waktu itu aku bisa bicara, akan ku katakan, “terima kasih ayah. Kau telah menyelamatkanku.”
Pernah juga suatu kali aku disusul oleh ayah ke sekolah dan menyuruhku untuk pulang saat itu juga. Itu karena satu hal, sebelum berangkat aku lupa minum susu. Hal yang sepele memang, namun tidak bagi ayah. Ayah ingin aku sehat. Tumbuh menjadi anak yang sehat, tidak sakit, selalu terlihat ceria dan itu menjadi ketenangan tersendiri bagi ayahku mengingat waktu kecil aku sering sakit-sakitan.
Disekolah, aku termasuk anak yang cerdas. Tidak pernah sekalipun aku mendapat nilai rendah. Nilaiku selalu berada pada urutan teratas dan setiap akhir pembagian raport, aku selalu menjadi rangking kelas. Itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluargaku, terutama ayah. Ayah selalu membanggakan aku dihadapan teman-teman kerjanya di PTPN atau saudaraku yang lain atas prestasiku tersebut.
Aku tidak hanya cerdas di pengetahuan umum saja. Namun, dalam pengetahuan agama aku juga sering menorehkan prestasi. Lomba baca shalawat bersama dengan teman-temanku juga pernah aku raih. Prestasiku yang aku peroleh itu bukanlah tanpa kerja keras. Aktivitasku dari pagi hingga malam tidak pernah jauh dari buku dan belajar. Ketika pagi, aku sekolah dengan materi umum yang biasa diberikan di sekolah dasar pada umumnya. Tak lama sepulang sekolah, kurang lebih selang dua jam kemudian, aku kembali ke sekolah untuk belajar di madrasah. Di madrasah, aku dan teman-teman diajarkan mengenai materi yang biasa diajarkan di pesantren. Seperti nahwu-sharraf, kitab gundul, qiro’ah, aqidah akhlak dan masih banyak lagi. Materi itu diajarkan sebagai bekal nanti untuk masuk ke pesantren setelah lulus dari madrasah. Tak lama setelah sekolah madrasah, aku pergi ke mushalla untuk mengaji hingga shalar isya’ tiba. Sepulang dari mengaji, aku langsung menuju salah satu guru matematika untuk les private. Berbeda dengan sekarang, saat aku les private dulu tanpa membayar uang sepeserpun. Namun kami sebagai murid membalasnya dengan membantu guru kami membersihkan rumahnya atau sekedar mencucikan piring. Itu kami lakukan dengan ikhlas karena kami ingin belajar dan ingin cepat bisa matematika. Dan guru kami pun dengan suka rela mengajarkan matematika tambahan untuk kami.
Seiringnya waktu, semakin hari aku semakin dekat dengan ayah. Bagiku, kedekatanku dengan ayah melebihi kedekatanku dengan ibu. Ayah selalu menjadi tempat cerita. Selalu merespon ceritaku dengan logikanya. Ayah memang menempuh pendidikan hanya sampai dipesantren. Namun pengetahuan umumnya patut aku acungin jempol. Kosakata beliau tentang peribahasa atau kata-kata mutiara cukup luas. Entah darimana beliau belajar, yang jelas ayah selalu memotivasiku dengan kata yang ia ungkapkan lewat peribahasa.
Dalam keluarga, seorang ayah adalah kepala keluarga, pemimpin keluarga, sekaligus sebagai imam yang menjadi contoh bagi anggota keluarga. Yang aku contoh dari ayah hingga kini adalah kebiasaan ayah mengaji. Setiap selesai shalat ashar, ayah selalu membaca Al Quran hingga menjelang maghrib. Yang ku tahu ayah juga rajin shalat. Tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Dan itu juga yang ingin aku contoh. Aku selalu berusaha untuk shalat tepat waktu dan tidak ingin meninggalkannya. Namun, apalah daya, tugas dan pekerjaanku di salah satu perusahaan selalu menyita waktu hingga aku lupa untuk shalat. “Maafkan aku ayah, untuk yang satu ini aku belum bisa mencontoh ayah. Doakan aku ayah agar aku bisa mencontoh kedisiplinanmu dalam mengerjakan shalat lima waktu.”
Kebiasaan demi kebiasaan yang aku lihat dari ayah sejak aku kecil hingga dewasa telah membuatku seperti sekarang. Mandiri dan selalu berusaha sendiri. Ketegaran ayah dalam menghadapi masalah keluarga juga telah mendidikku untuk selalu tegar dalam menghadapi setiap masalah. Semangat yang ayah berikan padaku tentang “uthlubul ilma walau bisshin” yang artinya tuntutlah ilmu walau ke negeri china” masih selalu ku ingat. Dan itu juga yang membuat aku untuk tidak mau berhenti belajar. Begitu juga dengan kata-kata ayah yang sangat ampuh adalah “dimana ada kemauan, disitu pasti ada jalan”. Sungguh, jika dulu ayah menyadari kemampuannya membuat kata-kata mutiara yang indah atau puitis. Mungkin kini ayah sudah menjadi sastrawan kenamaan diseluruh jagad raya ini. Dan kini, fakta membuktikan bahwa ayahku bukan sastrawan. Namun apapun profesi dan bagaimanapun keadaan ayah kini, ayah tetaplah ayahku. Orang yang paling menginspirasiku di dunia ini. Orang yang paling tahu aku dan bagaimana aku sebenarnya. Beliau yang paling percaya terhadap apa yang akan aku lakukan. Untuk semua yang telah ayah ajarkan padaku, aku ucapkan terima kasih. Aku ingin ayah tahu bahwa keinginanku saat ini adalah aku ingin menghajikan ayah dan ibu. Dan aku juga berharap aku bisa merawat ayah hingga akhir hayat ayah. Doakan aku ayah, agar ALLAH mengabulkan doa ku.
Bagiku, tak ada pahlawan yang paling berjasa didunia kecuali ayah. Pahlawan yang tak tergantikan posisinya oleh siapapun. Semoga Allah memberikan kesehatan dan panjang umur bagi ayah. Sekali lagi terima kasih ayah.

Dedicated to my best father “Hamzah”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar